Investor Daily | Kamis, 8 November 2018

JAKARTA Nilai ekspor Indonesia diprediksi dapat kembali menembus US$ 200 miliar pada 2020. Ini dengan catatan pengusaha dan pemerintah harus satu visi dan misi dalam memacu ekspor.

 

“Jika keduanya konsisten memacu ekspor, tidak menutup kemungkinan pada 2020, Indonesia bisa kembali mengejar ketinggalan dan nilai ekspor bisa mencapai US$ 200 miliar,” ujar Staf Ahli Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Bidang Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Imam Haryono di acara Apindo, The Alignment of New Industrial Relations Policy Toward Industry 4.0 di Jakarta, Rabu (7/11). Nilai ekspor Indonesia pernah mencapai US$ 203,5 miliar pada 2011, tertinggi sepanjang sejarah. Selepas itu, ekspor Indonesia terus menurun menjadi rata-rata US$ 160 miliar per tahun.

 

Menurut dia, penurunan ekspor dipicu pengaruh ekonomi global yang tidak menentu. Adapun ekspor produk Indonesia tidak bermasalah, karena terus berinovasi. Indonesia bisa kembali mencapai puncak kejayaan ekspor, apabila pengusaha pemerintah saling berkoordinasi dan berdiskusi.

 

Saat ini, dia mengakui, ekspor Indonesia memang tertinggal dari negara Asean lainnya. Namun, Indonesia belum terlambat mengejar ketinggalan. “Potensi ekspor Indonesia itu besar sekali dan masih ada waktu untuk memacunya lebih tinggi lagi,” ujar dia.

 

Dia menjelaskan, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mendorong ekspor. Dari sisi pemerintah, harus memperbanyak perjanjian dagang. Hal ini penting untuk membuka akses pasar. Pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga harus terus mencari pintu masuk untuk kelancaran arus ekspor.

 

Saat ini, dia menilai, Kemendag sudah banyak menyelesaikan peijanjian dagang. Bahkan, perjanjian dagang dengan Uni Eropa diproyeksikan rampung tahun depan.

 

Adapun Kemenperin, dia menuturkan, terus mendorong pengusaha meningkatkan kualitas produk, baik dari sisi pengemasan maupun harga. Langkah ini dibarengi dengan mendorong masyarakat memakai produk dalam negeri. Tujuannya agar tercipta keseimbangan antara produk ekspor dan produk dalam negeri.

 

Imam mengungkapkan, ekspor lima industri unggulan 4.0, yaitu makanan dan minuman (mamin) olahan, otomotif, kimia, elektronik, tekstil, harus digenjot. Otomotif dan tekstil merupakan industri yang paling besar berkontribusi terhadap ekspor.

 

Ke depan, dia menilai, kawasan Amerika Latin bisa menjadi incaran ekspor. Selain memacu ekspor, Indonesia mempersiapkan diri menuju era industri 4.0. Tantangan utama Indonesia memasuki era industri 4.0 adalah kesiapan industri, yakni apakah sudah menerapkan teknologi digital.

 

Selamatkan Ekspor

Di sisi lain, Kemendag berhasil menyelamatkan ekspor Indonesia sebesar US$ 887,18 juta atau setara Rp 13,4 triliun, setelah melakukan pengamanan dagang sepanjang Januari hingga Oktober 2018.

 

Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Kemendag Merry Maryati menyampaikan, terdapat 17 kasus atau sengketa dagang yang dituduhkan kepada produk Indonesia, sehingga pemerintah melakukan langkah diplomatis.

 

“Untuk amankan akses, Indonesia sampaikan pembelaan terhadap tuduhan produk Indonesia di negara ekspor sampai ke World Trade Organization (WTO),” kata dia.

 

Apabila diperinci, dia menuturkan, nilai ekspor diselamatkan ada di delapan negara, yakni Amerika Serikat (AS), Vietnam, Malaysia , India, Argentina, Afrika Selatan, Australia, dan Prancis. Penyelamatan ekspor tertinggi dicetak ke AS sebesar US$ 436,2 juta,diikuti Vietnam, Malaysia, dan India masing-masing US$ 170 juta, US$ 116 juta, dan US$ 94,7 juta.

 

Beberapa produk ekspor yang berhasil diamankan antara lain rumput laut, melamin, aluminium ekstrusi, otomotif, serat poliester bertekstur, minyak kelapa sawit, coated paper, nylon filament, plain gypsum plasterboard, polyester staple fibre. Di luar produk itu, ada uncoated paper (CUP), exclusion based, steel concrete reinforcing bar (rebar), steel rod in coils, hot rolled plate, biaxially oriented polypropylene (BOPP) films, dan other screw fully threaded with hexagon heads made of steal.

 

Dia menambahkan, mitra dagang penyumbang surplus nonmigas periode JanuariSeptember 2018 adalah AS, Filipina, Belanda, Malaysia sebesar US$ 20,7 miliar. Sementara itu, RRT, Thailand, Australia Jerman, dan Argentina menyebabkan defisit nonmigas terbesar, sebesar US$ 21,9 miliar.

 

Pemerintah, kata dia, berupaya mengantisipasi defisit neraca perdgangan dan meningkatkan ekspor dengan perluasan pasar dan menambah komoditas ekspor bernilai tambah tinggi. Pemerintah tidak ingin hanya mengandalkan sumber daya alam, yang selama ini menyumbang surplus perdagangan. (Ridho Syukra)