Penafian
Artikel ini mungkin berisi materi berhak cipta, yang penggunaannya mungkin tidak diizinkan oleh pemilik hak cipta. Materi ini disediakan dengan tujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan. Materi yang terdapat dalam situs web Astra Agro didistribusikan tanpa mencari keuntungan. Jika Anda tertarik untuk menggunakan materi yang memiliki hak cipta dari materi ini dengan alasan apapun yang melampaui ‘penggunaan wajar’, Anda harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari sumber aslinya.
Konflik Agraria di Industri Kelapa Sawit terus mengemuka di berbagai wilayah di Indonesia di tengah upaya pemerintah dalam mengembangkan investasi dan ekonomi. Beroperasinya perusahaan Kelapa Sawit tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) seringkali memicu konflik dengan masyarakat, padahal sepanjang perusahaan tersebut telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) maka berhak untuk beroperasi.
“”UU Perkebunan 39/2014 pasal 42 secara tegas mengatur syarat berkebun adalah mempunyai IUP atau HGU kemudian diubah putusan MK Nomor 138/2015 menjadi mempunyai IUP dan HGU,” ujar Pakar Hukum Kehutanan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Hotman Sitorus dirilis Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kepada TribunPalu.com, Minggu (22/10/2023).
“Tetapi harus dipahami bahwa putusan MK ini hanya berlaku pada perusahaan yang IUP-nya terbit setelah putusan MK tahun 2015. Sedangkan bagi perusahaan yang IUP-nya terbit sebelum putusan MK tahun 2015, syaratnya adalah cukup mempunyai IUP,” kata Hotman Sitorus menambahkan. Hotman menjelaskan, terdapat proses yang panjang dalam pembuatan HGU. Setelah diterbitkannya ijin lokasi (Ilok) lalu dilanjutkan dengan proses penerbitan IUP, maka secara aturan semua pihak yang sebelumnya memiliki lahan tersebut sudah tidak memiliki hak dan hak tersebut telah beralih pada pemilik IUP. “Jika lahan tersebut sebelumnya dimiliki oleh masyarakat, lalu kemudian perusahaan telah memiliki IUP maka berarti perusahaan tersebut telah menjalankan kewajibannya kepada pemilik sebelumnya yakni dengan membayar ganti untung sehingga perusahaan kemudian menindaklanjuti ILok menjadi HGU,” Jelas Hotman.
Lebih lanjut Hotman juga menyoroti berbagai kasus konflik agraria yang disebabkan kisruh akibat banyaknya Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang dimiliki masyarakat. Menurutnya, SKT yang dikeluarkan pemerintah desa harus ditertibkan karena tidak hanya berimplikasi pada semakin lamanya proses alih fungsi lahan, namun dikhawatirkan juga memicu terjadinya konflik antarmasyarakat. “Saya dengar beberapa kasus perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah proses pembuatan HGU berlarut-larut bahkan belasan tahun karena SKT terus bermunculan. Dalam satu kasus ada diterbitkan SKT 16.000 ha di atas lahan 7.200 ha? Ini harus dipertanyakan status kepemilikannya!” Tegas Hotman.
Senada dengan Hotman, Ketua Bidang Hukum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Muhtar Tanong menilai, perlu langkah tegas dan cepat dalam menyelesaikan persoalan agraria perkebunan Kelapa Sawit di Sulawesi Tengah. Menurutnya ada dua hal yang harus dirampungkan dalam alih fungsi lahan. Pertama apakah lahan tersebut adalah areal penggunaan lain (APL) yang mana biasanya dimiliki masyarakat, maka BPN yang berwenang mengeluarkan sertifikatnya setelah proses dengan masyarakat selesai.
Kedua, jika lahan tersebut awalnya masuk kawasan hutan, maka ranahnya kehutanan yang berwenang. “Jika dikatakan masyarakat memiliki lahan tersebut, harus lihat apakah kepemilikannya berupa SHM, Girik atau pengakuan adat? Ini harus jelas dengan ukuran-ukuran yang masuk secara legal,” ujar Muhtar Tanong. “Jika masyarakat tidak bisa memperlihatkan kepemilikan yang sah secara legal, besar kemungkinan yang dimilikinya bukan lahannya, namun sesuatu yang ada di atasnya, misal tanamannya, bangunannya dan ini bisa jadi lahannya dimiliki negara.”
Muhtar menyebut pemerintah harus bisa segera menyelesaikan konflik agraria sebelum penerbitan Ilok agar bisa memberikan opsi kepada investor. “Apakah investor mau membayar tanah yang sudah ada haknya atau jika masyarakatnya tidak mau melepas, maka dilkeluarkan dari ilok yang digunakan sebagai usulan dikeluarkannya HGU,” jelas Muhtar. Ketua Gapki Sulawesi Dony Yoga dalam sambutannya memastikan keseriusan pelaku industri Kelapa Sawit yang beroperasi di Sulawesi untuk mematuhi regulasi yang berlaku dan terus memberikan kontribusi bagi masyarakat dan pembangunan wilayah Sulawesi.
Untuk itu Dony berharap terdapat pemahaman yang menyeluruh oleh semua pemangku kepentingan terkait hukum atas berbagai persoalan perkebunan Kelapa Swit di Sulawesi agar terjadi diskusi yang membangun antar pihak.(*)
Sumber: palu.tribunnews.com