Pemerintah mengapresiasi program Biodiesel berbasis sawit yang hingga saat ini berjalan lancar. Tentu program ini tidak dipersiapkan dalam waktu singkat dan melalui kerjasama dengan berbagai pihak. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, dalam webinar Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel : Indonesia Menuju B40, yang diadakan Majalah Sawit Indonesia, pada Selasa (30 Desember 2021).
Disampaikan Dadan, program Biodiesel yang dikembangkan dari bahan minyak nabati sawit sejalan dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon. Dan, komitmen ini juga disampaikan di berbagai pertemuan Internasional di antaranya UNFCCC – COP26, pada November lalu dan Leaders Summit on Climate, pada April 2021. “Pengembangan Biofuel di dalam negeri mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo,” ujarnya.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan komposisi konsumsi energi nasional, pada 2010 masih didominasi oleh sektor industri sebesar 46%, sementara jika melihat di 2020 terjadi pergeseran didominasi oleh sektor transportasi sebesar 43%. Sedangkan impor dan konsumsi domestik bahan bakar nabati mengalami perubahan sejak 2010 – 2020. Impor diesel oil (solar) mengalami penurunan dari 10,6 juta KL pada 2010, dan 3,2 juta KL pada 2020. Sedangkan, konsumsi Diesel Oil (solar) mengalami peningkatan dari 19,1 juta KL pada 2010, dan 27,5 juta KL pada 2020. “Hal itu terjadi karena pemanfaatan Biodiesel cukup besar mulai dari B10, B15, B20 dan B30,” kata Dadan.
Mengenai tahapan, target, realisasi dan pemanfaatan Biodiesel, Dadan mengatakan pemanfaatan Biodiesel berbasis sawit untuk sektor PSO (usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi dan pelayanan umum) dan transportasi non PSO, pembangkit listrik, industri dan komersial.
”Sedangkan untuk target dan realisasi, sejak 2018 progress meningkat bahkan di tahun 2020 yaitu 8,4 juta KL melebihi target RUEN (8 juta KL). Sementara, untuk produksi, konsumsi dan ekspor hingga November 2021 yaitu produksi 8,1 juta KL, konsumsi domestik 7,8 juta KL dan ekspor 123,877 KL. Realisasi pemanfaatan Biodiesel, grafiknya terus meningkat. Tetapi kalau ekspor angkanya tidak stabil karena tahapannya konsumsi dalam negeri yang dipenuhi baru kemudian untuk ekspor,” jelasnya.
Dari sisi produksi di dalam negeri kapasitas unit produksi terpasang memang masih didominasi di wilayah Jawa, Sumatera, tetapi dalam 1 – 2 tahun ini ada di Kalimantan dan 1 unit produksi ada di Sulawesi dan akan terus di dorong di wilayah Papua. Hal ini untuk ketepatan pengiriman dan sisi efisiensi biaya pengiriman.
Untuk pengembangan Biofuel berbasis sawit terus dilakukan dan diupayakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM. Salah satunya peningkatan campuran terhadap minyak solar, ada beberapa opsi yang dilakukan. Dan, pengembangan Biofuel pada 2021-2040, sebagai kelanjutan dari Bioavtur serta peningkatan campuran yang dicampurkan pada minyak solar. Ada beberapa opsi untuk masuk ke generasi berikutnya baik dari sisi pemanfaatan Biofuels yaitu pengembangan Co-Proccesing Green Diesel di Pertamina RU II Dumai ditargetkan akan mulai berproduksi secara komersial pada 2022.
“Terkait dengan Bensa (bensin sawit). Kami memang mendorong bensin sawit. Dari sisi kualitas, kami mengikuti apa yang menjadi kebutuhan konsumen, bagaimana meningkatkan keekonomian dan nilai tambah. Misalnya produksi Biodiesel tahun ini 10 juta KL maka akan mempunyai produk gliserin yang sangat banyak. Kami mendorong pemanfaatan Biodiesel memberikan nilai tambahan terhadap industri sawit,” terang Dadan.
Selain itu, pemanfaatan hasil sawit non CPO yaitu mengembangkan advancegeneration biofuels dengan prinsip berkelanjutan baik dari sisi produksi maupun dari sisi proses, meningkatkan keterlibatan petani, standar mutu yang semakin baik, proses yang semakin efisien dan harga yang stabil serta terkendali.
Uji B40
Terkait dengan pemanfaatan peningkatan campuran terhadap solar, di tahun mendatang dari B30 menjadi B40, Dadan menjelaskan upaya-upaya yang sedang dilakukan oleh Kementerian ESDM. Pihaknya sudah melakukan uji lab terkait dengan B40 dengan tiga komposisi, B40 dengan menggunakan FAME yang berlaku saat ini yaitu B30 (FAME) ditambah dengan DPME 10%.
Dan, B30 (FAME) ditambah dengan HVO 10% dengan uji karakteristik fisika kimia B30 + HVO10 dengan aspek kinerja (angka setana dan nilai kalor), aspek lingkungan/emisi (kandungan sulphur), kemudian handling & storage (kandungan air, stabilitas oksidari, angka asam, titik nyala dan titik kabur) dan aspek kebersihan/filter plugging (FBT, kontaminasi partikulat, cleanliness).
“Hasilnya semua bisa berjalan di dalam engine (mesin), tetapi dari sisi rekomendasi yang kami usulkan untuk B40, B30 FAME + DPME10% menunjukan penurunan torsi dan daya 1,1 – 2,1% dan diikuti dengan peningkatan konsumsi 1,1% dan penurunan opasitas gas buang 1,6 – 3,2%. Sedangkan B30 FAME + HVO10% memberikan nilai tambah pada daya maksimal 0,6% dan torsi maksimal 2,6%,” jelasnya.
“Dari hal tersebut kami berpendapat, produksi FAME mencukupi untuk penerapan B40 dari sisi kapasitas. Tetapi, apabila memilih B30 + DPME10% dari sisi produsen masih memerlukan waktu untuk melakukan destilasi ulang terkait untuk penurunan kandungan air. Kemudian untuk Pertamina mulai memproduksi HVO dalam jumlah besar mulai tahun 2024,” imbuh Dadan.
Sumber: Sawitindonesia.com