Keberadaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit dinilai dapat melahirkan pusat pertumbuhan ekonomi baru di satu daerah. Hal ini mengingat sawit menjadi komoditas andalan sebagai basis penopang ekonomi utama di daerah.
Hal tersebut terkuak dari hasil studi yang dilakukan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).
Direktur Eksekutif PASPI Indonesia Tungkot Sipayung mengatakan dari riset yang dilakukan pihaknya membuktikan berkembangnya aktivitas perkebunan dan industri sawit berbanding lurus dengan naiknya pendapatan masyarakat.
Data PASPI Indonesia menunjukkan adanya 10 provinsi yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru seiring dengan berkembangnya industri sawit di daerah tersebut.
Kesepuluh provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat.
“Kabupaten yang memiliki sentra sawit perkembangannya lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten yang tidak memiliki sawit. Ini hasil penelitian secara empiris dan hasilnya sama dengan penelitian World Bank (Bank Dunia),” kata Tungkot.
Selain mendongkrak ekonomi, keberadaan perkebunan kelapa sawit pun berdampak positif pada lingkungan sosial dan ekologi daerah tersebut.
Salah satunya PASPI Indonesia merujuk riset dari Robert Henson yaitu ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat (AS). Penelitian Henson di Malaysia diterbitkan dalam laporan berjudul “The Rough Guide to Climate Change”.
Dalam penelitian itu disebut bahwa penyerapan karbondioksida dan produksi oksigen perkebunan kelapa sawit lebih baik dibandingkan hutan.
Apabila dihitung, perkebunan sawit mampu menyerap karbondioksida (CO2) sekitar 163 ton/ha/tahun. Dengan luas lahan yang dimiliki Indonesia sebesar 16,381 juta hektar, maka perkebunan sawit dapat menyerap CO2 hingga mencapai 2,67 miliar ton/tahun.
Perkebunan sawit pun menyediakan konservasi tanah dan air berupa biopori alami dalam sistem perakarannya.
Di luar itu, sawit juga mampu menghasilkan berbagai produk turunan yang ramah lingkungan dan energi terbarukan, seperti biodiesel, biopremium, bioplastik, dan biogas.
Sementara itu dari luas lahan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia tersebut, sekitar 3,38 persen atau 553.952 hektar terdapat di bagian timur Indonesia yang meliputi Pulau Sulawesi, Maluku dan Papua.
Adapun untuk Papua, luas lahan kelapa sawit di sana baru sekitar 58.656 hektar dan Papua Barat 110.496 hektar.
Di wilayah Papua Barat pperkebunan sawit tersebar di Kabupaten yaitu Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Maybrat, Teluk Bintuni dan Fak Fak.
Sedangkan di wilayah Papua terdapat di Kabupaten Nabire, Jayapura, Keerom, Boven Digoel, Mappi dan Merauke.
Hasil Temuan Lainnya
Potensi pengembangan kelapa sawit di Indonesia bagian timur harus dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sana, serta menimbulkan multiplier effect.
Pasalnya, upaya pengentasan kemiskinan sudah dilakukan melalui sawit dengan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Secara umum target PSR 2020-2022 mencapai 540 ribu hektar, di 21 provinsi yang melibatkan kurang lebih 43.000 pekebun. Sementara khusus untuk Papua, target PSR mencapai 6.000 hektare.
Dengan demikian perkebunan kelapa sawit dinilai akan mampu merestorasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Papua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2020, persentase jumlah penduduk miskin Papua dan Papua Barat, masing-masing 26,8 persen dan 21,7 persen.
Kendati demikian jumlah tenaga kerja langsung dan tak langsung perkebunan sawit di Papua terus meningkat. Saat ini jumlahnya mencapai 250.000 tenaga kerja.
Tungkot menyebut, pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) beberapa daerah yang merupakan sentra sawit, termasuk Papua. Begitupun dengan para petani sawit.
Dalam laporan PASPI (2017) diketahui bahwa pendapatan petani kelapa sawit relatif stabil bahkan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur kebun sawit dan relatif terjamin sampai masa peremajaan (replanting).
Salah satu perintis perkebunan sawit di Papua adalah PT Tunas Sawa Erma Group (TSE) yang hampir tiga dekade mengelola dan memajukan perkebunan sawit di sana. TSE memiliki komplek perkebunan khususnya di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel.
Dengan luas HGU hingga saat ini 97.883 hektar, TSE telah menggarap area seluas 49.837 hektar serta mendirikan empat pabrik dengan total kapasitas terpasang 250 ton per jam.
“Kami sangat memikirkan keberlanjutan serta kesejahteraan masyarakat. Seluruh perkebunan kami telah mendapatkan sertifikat ISPO, menjadi yang pertama di Papua,” kata Direktur TSE Luwy Leunufna.
Hal itu diakui Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono. Menurutnya, kemitraan yang dibangun dalam industri sawit menjadi peluang yang baik untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi di Papua.
“Sawit diharapkan bisa menjadi tulang punggung bagi perekonomian di Papua dan Papua Barat,” katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Papua, Albert Yoku, mengatakan sawit menjadi penyelamat ekonomi petani di Papua. Dia juga menjelaskan, para petani sawit di Papua akan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
“Jika tidak ada kebun sawit, entah bagaimana jadinya kami,” ungkap Albert.
Hal yang sama pun diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Apkasindo Provinsi Papua Barat, Dorteus Paiki. “Kedatangan sawit membawa kesejahteraan masyarakat dan petani setempat. Melalui sawit, mereka bisa punya rumah tembok permanen, punya sepeda motor dan bahkan mobil, serta anak-anak bisa bersekolah,” ungkap Dorteus. (Tira Santia)
Sumber: Liputan6.com