Aturan baru tarif pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya mulai berjalan. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Joko Supriyono, berharap kebijakan ini dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.
Joko mengatakan kebijakan mengenai pungutan ekspor direvisi, salah satunya, setelah membandingkan beban ekspor pelaku usaha dalam negeri dengan Malaysia. “Beban yang kita terima jauh lebih besar dibanding perusahaan di Malaysia,” tuturnya kepada Tempo, kemarin.
Sebelum aturannya berubah, pengusaha harus membayar pungutan US$ 225 per ton ketika harga CPO senilai USS 1.000 per ton. Selain itu, terdapat kewajiban bea keluar yang pada Juni lalu ditetapkan sekitar USS 183 per ton. Sedangkan di Malaysia, Joko menjelaskan, beban biayanya hanya sekitar USS 100 per ton, termasuk pajak dan pungutan ekspor.
Joko berharap, dengan penyesuaian tarif pungutan ekspor kali ini, daya saing terhadap Malaysia dapat meningkat. “Kalaupun ada selisih harga, tidak terlalu jauh. Karena di beberapa pasar, terutama di India, selama kuartal I 2021 ini kita kalah sama Malaysia,” tuturnya. Terlebih, tahun ini permintaan impor CPO dan turunannya dari India diproyeksikan masih akan tinggi setelah negara itu menurunkan tarif impor.
Tarif pungutan ekspor mulai berubah pada 2 Juli 2021. Kementerian Keuangan memutuskan mengubah batas pengenaan tarif. dari sebelumnya pada harga CPO US$ 670 per metric ton menjadi USS 750 per rnetiic ton. Besaran tarifnya ditetapkan dengan mengacu pada harga referensi yang disusun Kementerian Perdagangan. Pungutan ekspor dihitung berdasarkan tanggal penerbitan pemberitahuan ekspor barang.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Eddy Abdurrachman, menyatakan, jika harga CPO berada di bawah atau sama dengan batas pengenaan tarif, pungutan yang diberlakukan tak berubah. “Selanjutnya, setiap kenaikan harga sebesar USS 50 per metric ton, tarif pungutan naik sebesar USS 20 per metric ton untuk produk crude dan USS 16 per rnetiic ton untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai US$ 1.000,” ujamya. Untuk harga CPO di atas USS 1.000, tarif yang berlaku adalah tarif tertinggi di masing-masing produk.
Eddy menyebutkan kebijakan itu bisa meningkatkan daya saing produk kelapa sawit Indonesia. Pasalnya, kewajiban eksportir untuk membayar pungutan ekspor serta bea keluar secara ad valorem menurun. Sebelumnya, total beban biaya maksimal mereka mencapai 36,4 persen dari harga CPO. Sedangkan kebijakan terbaru ini membuat beban tersebut menjadi hanya 30 persen.
Eddy juga memastikan penerapan pungutan ekspor berdampak positif bagi petani sawit. Pemerintah, menurut dia, berkomitmen meningkatkan kesejahteraan petani dengan mengalokasikan dana peremajaan perkebunan sawit. Anggaran untuk peremajaan di 180 ribu hektare lahan per tahun telah disiapkan dengan alokasi dana tiap hektare sebesar Rp 30 juta. \
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdhalifah Machmud, menuturkan dana pungutan ekspor CPO juga akan digunakan untuk membersihkan citra sawit Indonesia di pasar. Pemerintah sedang membela diri dari diskriminasi minyak kelapa sawit ke Organisasi Perdagangan Dunia. “Kita sewa pengacara yang ada di tataran global,” katanya. Peruntukan dana pungutan ekspor CPO lainnya adalah untuk riset.
Sumber: Tempo.co