Harga komoditas minyak kelapa sawit mentah atau CPO di pasar global akan stabil tinggi karena berada dalam siklus super. Pemerintah dan pelaku industri memanfaatkan tren harga tersebut untuk mengoptimalkan ekspor dan investasi.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, posisi harga CPO yang menembus 1.000 dollar Amerika Serikat (AS) per ton pada Maret lalu hampir dua kali lipat dibandingkan bulan sama tahun sebelumnya. Harga CPO memang tengah meroket.
”Sebelumnya, harganya diperkirakan akan turun pada Juli tahun ini. Namun, kemungkinan besar posisi harga tersebut akan tetap selama dua tahun karena adanya supercycle,” tuturnya saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Rabu (28/4/2021).
Kementerian Perdagangan mencatat, harga CPO pada Maret 2021 senilai 1.031,1 dollar AS per ton atau naik 65,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang 2020, pangsa pasar terbesar ekspor kelapa sawit menyasar China dengan proporsi 17 persen.
Tidak hanya China, lanjut Lutfi, Indonesia juga akan menyasar pasar sejumlah negara di Eropa, terutama Swiss, Liechtenstein, Norwegia, dan Eslandia. Caranya dengan memanfaatkan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) atau IE-CEPA. Indonesia juga mengejar perjanjian dagang dengan Turki untuk membangun pabrik kilang kelapa sawit Indonesia di negara tersebut.
Menurut Lutfi, siklus super pada sejumlah komoditas terjadi karena nilai dollar AS yang tertera lebih rendah dibandingkan yang sebenarnya (undervalue). Komoditas lain yang harganya naik karena siklus super terdiri dari bijih besi, beras, dan tembaga.
Dalam laporannya ”Commodity Markets Outlook” yang dirilis April 2021, Bank Dunia menyebutkan, neraca pasokan delapan komoditas utama minyak konsumsi (edible oils) dunia, termasuk kelapa sawit, kedelai, dan rapeseed, diperkirakan tumbuh 2,9 juta ton pada 2020-2021. Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan peridoe sebelumnya yang mencapai 3,4 juta ton dan rata-rata pertumbuhan tahunan selama 20 tahun terakhir yang sebesar 6,6 juta ton.
Terkait siklus super tersebut, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menilai, harga CPO akan stabil tinggi karena memberikan kepastian. Produksi minyak nabati lainnya masih menunjukkan sinyal ketidakpastian di pasar global.
”Harga tinggi ini perlu dimanfaatkan untuk investasi agar daya saing industri kelapa sawit Indonesia terjaga,” katanya dalam temu media virtual, Rabu.
Data GAPKI menunjukkan, volume ekspor CPO pada Maret 2021 diperkirakan mencapai 3,24 juta ton atau 62,7 persen lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. Nilai ekspornya melonjak 80 persen lebih tinggi dibandingkan Februari 2021 menjadi 3,74 miliar dollar AS.
Sepanjang April 2021, Kementerian Perdagangan menetapkan, harga referensi CPO sebesar 1.093,83 dollar AS per ton, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 1.036,22 per ton. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010/2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, bea keluar pada April menjadi 116 dollar AS per ton atau naik dari Maret 2021 yang senilai 93 dollar AS per ton.
Pasar India
Lutfi memaparkan, India menjadi pangsa pasar CPO kedua setelah China dengan proporsi 15 persen sepanjang 2020. Akan tetapi, dia mewaspadai India sebagai pasar lantaran angka vaksinasinya dan kenaikan kasus Covid-19.
Sementara Joko mengatakan, hingga saat ini GAPKI belum menerima laporan gangguan terkait ekspor dan impor, khususnya perdagangan CPO ke India. Oleh sebab itu, pelaku industri cenderung menunggu dan melihat situasi terlebih dahulu.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga optimistis, kelapa sawit Indonesia tetap merajai pasar minyak nabati di India. Ada peluang yang bisa dimanfaatkan dari potensi berkurangnya pasokan dari Malaysia.
”Saat ini, Malaysia tengah kekurangan tenaga kerja untuk memanen kelapa sawit,” ujarnya. (Paschalia Judith)
Sumber: Kompas.id