JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimistis mampu meningkatkan kinerja ekspor minyak kelapa sawit sepanjang 2021. Volume ekspor pada tahun ini diproyeksikan bisa mencapai 37,50 juta ton. Angkanya lebih tinggi dari realisasi pada tahun lalu yang mencapai 34 juta ton.
Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono, menyatakan kenaikan tersebut akan didorong oleh perbaikan tren permintaan global. Saat masa pandemi, kebijakan karantina wilayah di sejumlah negara tujuan utama ekspor telah menghambat penjualan komoditas sawit. Namun perekonomian perlahan mulai pulih setelah vaksin ditemukan.
“Jadi, permintaan tahun ini akan sangat bergantung pada program vaksinasi,” ujamya, kemarin. Semakin cepat pemberian antivirus rampung, permintaan di pasar global dapat segera pulih. Pasalnya, peningkatan kembali angka kasus Covid-19 dapat menghambat permintaan lagi.
Tahun lalu, permintaan minyak sawit menurun. Akibatnya, kinerja ekspor dari sisi volume mengalami kontraksi 9,06 persen seeara tahunan. Ekspor dari Cina, misalnya, menurun 24 persen dan Bangladesh sebesar 23 persen. Penurunan terbesar lainnya terjadi di pasar Uni Eropa dan Pakistan yang mencapai 12 persen.
Adapun dari sisi nilai, ekspor minyak sawit mengalami kenaikan 13,65 persen. Nilainya naik dari USS 20,21 miliar pada 2019 menjadi USS 22,97 miliar pada tahun lalu. Capaian ekspor ini berkontribusi sebesar 83 persen dari total kinerja ekspor non-migas sepanjang 2020 yang mencapai USS 27,67 miliar.
Selain berkaitan dengan vaksin, Joko mengatakan virus demam babi Afrika di Cina berpotensi mengganggu permintaan terhadap sawit. Pada 2018, permintaan sawit dari Cina sempat anjlok karena virus tersebut. Dia berharap kasus yang sama tak terjadi pada tahun ini.
Faktor lain yang menjadi perhatian adalah kebijakan baru impor minyak sawit di India. Negara tersebut memotong pajak dasar impor sawit dari 27,5 persen menjadi 15 persen. Kebijakan ini membuat harga minyak nabati lain lebih bersaing dibanding sawit.
Namun Joko tak mengkhawatirkan adanya penurunan permintaan signifikan dari India. Pasalnya, perubahan tarif impor, menurut dia, sering terjadi di India. “Kami sudah biasa dengan perubahan tarif ini,” tuturnya.
Tantangan lain yang membayangi ekspor adalah kampanye hitam dari Uni Eropa. Joko menuturkan Gapki mendukung upaya pemerintah menggandeng persatuan negara-negara di Asia Tenggara untuk mengadakan joint working group guna membahas minyak nabati bersama Uni Eropa.
Staf Ahli Bidang Diplomasi Ekonomi Kementerian Luar Negeri, Ina Hagniningtyas Krinasmurthi, sebelumnya menyatakan kelompok ini dibentuk untuk menghindari diskriminasi terhadap produk sawit. “Kami ingin minyak sawit diperlakukan dengan standar yang sama seperti minyak nabati lainnya,” katanya.
Para pemangku kepentingan telah bersepakat untuk memperlakukan minyak nabati sebagai bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang disepakati 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ina menyatakan SDGs menekankan tiga prinsip, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Dengan basis tersebut, pemerintah berharap Uni Eropa tak hanya melihat kelapa sawit dari sisi lingkungan.
Ekspor sawit ke Uni Eropa selama ini mengalami sejumlah hambatan. Pemerintah Inggris, misalnya, menerapkan persvaratan due diligence untuk melacak asal minyak kelapa sawit. Sedangkan Prancis mencabut insentif pajak untuk biofuel. Komisi Uni Eropa juga menerapkan kebijakan Renewable Energy Directive II yang memuat rencana untuk menghapus seeara bertahap penggunaan kelapa sawit hingga nol persen pada 2030.
Selain ke Uni Eropa, Joko menuturkan, para pengusaha telah berupaya mencari pasar baru. Saat ini terdapat sekitar 174 negara tujuan ekspor sawit dari Indonesia. “Kami sebenamya sudah ada diversifikasi,” ujamya. Meskipun sekitar 80 persen dari total ekspor hanya dikirim ke beberapa negara, termasuk Uni Eropa. Negara lainnya adalah India, Cina. Pakistan, Amerika Serikat, Bangladesh, serta negara-negara di Timur Tengah dan Afrika. Tren ekspor tahun ini pun diperkirakan tak akan banyak berubah.
Tren permintaan minyak sawit yang meningkat pada tahun ini juga akan mempengaruhi harga sawit. Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, memperkirakan tren harga komoditas tersebut masih berlanjut tahun ini dengan catatan ada keberhasilan program vaksinasi. “Kami perkirakan masih USS 850-900 per ton,” katanya.
Faktor lain yang menjadi penentu ialah keberlanjutan program B30 di dalam negeri. Penggunaan biodiesel akan menverap stok nasional sehingga pada akhir tahun ini akan terjadi pengurangan pasokan. (Vindry F)
Sumber: Tempo.co