Warta Ekonomi.co.id, Jakarta – Tata kelola industri yang berkelanjutan harus mencakup tiga aspek, yaitu profit, people, dan planet. Uni Eropa juga harus melihat tuntutan keberlanjutan dalam tiga aspek tersebut secara integral.
Demikian kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono saat berbicara pada Seminar Internasional Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Bandung, Selasa (6/8/2019).
“Tidak mungkin kita bisa memenuhi tuntutan keberlanjutan bagi people dan planet jika kita tidak bisa mencapai keberlanjutan dari aspek bisnis,” kata dia melalui keterangan tertulis.
Joko mengkritisi diskriminasi Uni Eropa terhadap produk minyak sawit. Isu deforestasi, HAM hingga terakhir RED II (renewable energy directive) yang mengharuskan sawit dikeluarkan sebagai bahan baku biofuel di Uni Eropa.
“Kriteria ILUC (indirect land use change) tidak fair dalam menghitung emisi karbon dalam perkebunan kelapa sawit,” kata Joko.
Dalam konteks ILUC, Joko mengkritisi Uni Eropa dalam menganalisis tutupan lahan dan cut off date dalam perhitungan deforestasi. Eropa menghitung berdasarkan selisih karbon stok hutan primer dengan karbon stok setelah menjadi perkebunan kelapa sawit sebagai emisi sawit tanpa melihat sejarah lahan sebelum menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Padahal kenyataannya lebih dari 70% pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari degraded land, yakni lahan terbuka, semak belukar, dan bekas areal pertanian, di antaranya perkebunan karet,” katanya.
“Ini tidak fair, seharusnya selisih karbon dihitung dari penggunaan lahan tersebut sebelum menjadi kebun sawit. Selain itu, cut off date penghitungan deforestasi dimulai dari periode 2008, padahal deforestasi untuk pembukaan lahan minyak nabati lain seperti kedelai dan bunga matahari di Eropa dan Amerika sudah jauh lebih dulu dilakukan,” tegas Joko.
Jika membandingkan ekspansi perkebunan minyak nabati di dunia, Departemen Pertanian AS (USDA) 2017 menyebutkan pada 1965, dari seluruh lahan yang digunakan untuk produksi minyak nabati, luas kebun kedelai mencapai 52%, bunga matahari 17%, rapeseed 16%, dan kelapa sawit 8%.
Lalu, pada 2016 luas perkebunan kedelai 61%, bunga matahari 12%, dan rapeseed 17%, serta kelapa sawit 10%. Produktivitas pohon kelapa sawit 6-9 kali lipat lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya.
“Jadi sesungguhnya, Eropa dan Amerika telah melakukan deforestasi besar-besaran, tetapi tidak pernah dibicarakan. Sedangkan Eropa meributkan Indonesia yang tengah berjuang membangun bangsa dengan isu deforestasi,” kata Joko.
Lebih lanjut, sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, isu keberlanjutan tentu saja menjadi tantangan yang harus dihadapi. Joko menegaskan, sustainable palm oil harus mengedepankan tiga pendekatan dasar, yakni profit, people, dan planet. Ketiga elemen tersebut harus berjalan karena saling memberikan dampak satu sama lain.
Selain black campaign dan diskriminasi UE, tantangan dalam industri kelapa sawit Indonesia adalah masalah produktivitas yang masih rendah. Joko berharap semakin banyak riset yang dilakukan untuk mengatasi masalah produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Joko memaparkan, kurun 2008 hingga 2017 rata-rata pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit bertambah 6% setiap tahun, tidak disertai dengan kenaikan produktivitas. Dalam kurun waktu tersebut rata-rata produktivitas kelapa sawit hanya naik 3% setiap tahunnya. Dengan rata-rata yield 11 ton TBS (tandan buah segar) setiap tahunnya.
“Angka yang jauh lebih rendah dari potensi produktivitas kelapa sawit yang seharusnya bisa mencapai lebih 25 ton per hektare per tahun,” katanya.
Source: Warta Ekonomi