JAKARTA – Ekspor minyak sawit nasional pada semester I-2019 mencapai 16,84 juta ton, atau naik 10,07% dari periode sama tahun sebelumnya yang sebesar 15,30 juta ton. Kenaikan ekspor tersebut dipicu melonjaknya impor minyak sawit oleh Tiongkok dari Indonesia hingga 39%. Perang dagang yang dilakukan Tiongkok dengan Amerika Serikat (AS) membuat Negeri Tirai Bambu tersebut memilih membeli minyak sawit dari Indonesia ketimbang mendatangkan kedelai dari Negeri Paman Sam.
JAKARTA – Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, volume ekspor minyak sawit Indonesia pada Juni 2019 anjlok 266 ribu ton menjadi 2,522 juta ton dari 2,788 juta ton pada Mei 2019. Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan, minyak sawit Indonesia masih terus menghadapi tantangan global yang berat.
Salah satu tantangan tersebut, kata dia, adanya ketidakpastian dalam dinamika pasar minyak nabati dunia. Faktanya, permintaan dari pasar ekspor tidak meningkat signifikan sehingga harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) tetap bergerak pada kisaran harga yang rendah. Sementara itu, lanjut dia, pertumbuhan daya serap pasar minyak sawit di dalam negeri juga tidak terlalu besar.
“Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tidak tumbuh secara maksimal karena ada beberapa dinamika di pasar global khususnya di negara tujuan seperti India, Uni Eropa (UE), Tiongkok, dan Amerika Serikat (AS). Pada semester I tahun 2019, ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya, biodiesel dan oleochemical) hanya naik 10% dibandingkan dengan periode sama pada tahun 2018. Dari 15,30 juta ton pada Januari-Juni 2018 menjadi 16,84 juta ton pada periode sama tahun 2019,” kata Mukti dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa (6/8).
Kenaikan volume ekspor itu, kata Mukti, seharusnya masih bisa digenjot lebih tinggi lagi. Tapi, karena beberapa hambatan perdagangan membuat kinerja ekspor tidak maksimal.
“Sementara itu, volume ekspor khusus CPO dan turunannya saja (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) pada semester I tahun 2019 hanya mampu terkerek 7,6% atau dari 14,16 juta ton pada Januari-Juni 2018 menjadi 15,24 juta ton,” kata Mukti.
Mukti memaparkan, di India, Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia khususnya untuk refined products karena bea masuk (BM) atas refined products dari Indonesia lebih tinggi daripada Malaysia dengan selisih 9%. Sementara itu, UE yang menggaungkan RED II ILUC dan tuduhan subsidi biodiesel ke Indonesia sedikit banyak mempengaruhi ekspor Indonesia ke kawasan tersebut. Di sisi lain, perang dagang Tiongkok dan AS juga telah mempengaruhi pasar minyak nabati dunia.
“Volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 mengalami penurunan hampir di semua negara tujuan utama ekspor Indonesia kecuali Tiongkok. Semester I 2019, Tiongkok impor CPO dan turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) naik sebesar 39% atau dari 1,82 juta ton periode Januari-Juni 2018 menjadi 2,54 juta ton pada periode sama tahun 2019. Hal ini merupakan salah satu dampak dari perang dagang Tiongkok dengan AS. Tiongkok mengurangi pembelian kedelai secara signifikan dan menggantikan kebutuhan mereka dengan minyak sawit,” kata Mukti.
Sementara, volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 ke UE hanya merangkak 0,7% saja dari 2,39 juta periode Januari-Juni 2018 menjadi 2,41 juta ton periode sama tahun 2019.
“Volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama tahun 2019 ke India tersungkur 17%, dari 2,5 juta ton semester I tahun 2018 menjadi 2,1 juta ton. Penurunan juga diikuti impor oleh AS yang terpangkas 12%, Pakistan anjlok 10%, dan Bangladesh terpangkas 19%,” kata Mukti.
Program Biodiesel
Dari sisi produksi, kata Mukti, pada Juni 2019 menunjukkan tren penurunan sebesar 16% dibandingkan bulan Mei 2019 menjadi 3,98 juta ton dari 4,73 juta. Stok minyak sawit Indonesia pada Juni 2019 ditutup sebanyak 3,55 juta ton.
“Serapan biodiesel pada semester I 2019, sangat impresif. Sepanjang Januari-Juni 2019 penyerapan biodiesel telah mencapai 3,29 juta ton atau naik 144% dibandingkan periode sama tahun 2018 yang hanya mampu menyerap sebesar 1,35 juta ton.
Angka ini menunjukkan program mandatori B20 telah berjalan dengan baik di segmen PSO dan non PSO. Pemerintah tetap diharapkan untuk mengakselerasi mandatori B30 yang saat ini uji coba jalan sedang berlangsung. Pemerintah juga diharapkan untuk memperluas penggunaan minyak sawit langsung untuk pembangkit PLN. Jika semua program penyerapan CPO dalam negeri dapat berjalan dengan baik, ketergantungan Indonesia pada pasar global akan dapat dikurangi,” kata Mukti.
Terkait harga, Gapki mencatat, sepanjang semester pertama tahun 2019 harga CPO global bergerak pada kisaran US$ 492,5-567,5 per metrik ton dengan harga rata-rata di kisaran US$ 501,5-556,5 per metrik ton.
Source: Investor Daily
Berita terkait:
https://industri.kontan.co.id/news/semester-i-2019-kinerja-ekspor-minyak-sawit-indonesia-tumbuh-10