BISNIS, JAKARTA Emiten perkebunan kelapa sawit PT Astra Agro Lestari Tbk. merevisi turun alokasi belanja modal atau copitol expenditure perseroan pada tahunini menjadi Rpl ,3 triliun-Rpl ,5 triliun.
Pada awal tahun ini, emiten dengan kode saham AALI itu merencanakan belanja modal senilai Rp 1,6 triliun sampai dengan Rp 1,7 triliun yang berasal dari kas internal perseroan. Dalam rencana awal, mayoritas capex akan digunakan untuk perawatan pohon kelapa sawit yang belum menghasilkan.
Adapun, dana untuk perawatan tanaman yang belum menghasilkan senilai Rp700 miliar, peningkatan kapasitas pabrik atau exstention Rp 150 miliar dan sisanya untuk perawatan infrastruktur seperti jalan, rumah, jembatan, dan lain-lain.
Namun, usai malam ajang penganugerahan Bisnis Indonesia Award 2019, Direktur Astra Agro M. Hadi Sugeng mengungkapkan bahwa untuk semester 11/2019, perseroan memiliki rencana yang berbeda. Menurutnya, capex tahun ini akan ditekan oleh perseroan sekitar Rp300 miliar-Rp400 miliar.
“Semester dua ini kami sedang melakukan pembenahan kebun dan efisiensi kebun saja. Efisiensi yang kami maksud ialah lebih mengoptimalkan [biaya] operasional,” katanya kepada Bisnis.
Menurutnya, beberapa pengeluaran yang tidak berhubungan dengan inti bisnis AALI akan diefisienkan. Hadi menyebut bahwa efisiensi perlu dilakukan supaya kinerja perseroan lebih baik. “Kami menjalankan yang ada korelasinya dengan produktivitas tanaman dan tenaga kerja.”
AALI, lanjutnya, akan menunda beberapa proyek yang tidak terlalu penting selama posisi harga crude palm oil [CPO] masih tertekan. Sebagai informasi, harga CPO di Bursa Malaysia Derivatives Exchange pada akhir pekan lalu berada pada kisaran 1.931 ringgit per ton, merosot dibandingkan dengan Februari yang sempat menyentuh 2.300 ringgit per ton.
Sejumlah proyek yang akan ditunda di antaranya beberapa pembangunan infrastruktur berupa jalan. Menurutnya, curah hujan tidak tinggi sehingga capex untuk sektor itu kemungkinan tidak sebesar yang sudah diproyeksikan. Dengan demikian, dana untuk merawat infrastruktur ke kebun, termasuk juga pembangunan perumahan karyawan masih bisa digeser pada tahun depan.
“Mungkin itu akan kami nomor duakan selama posisi harga yang tertekan. Paling tidak yang keluar tahun ini Rp 1,5 triliun, sedangkan tahun lalu itu Rp 1,7 biliun. Mungkin tahun ini akan kami tekan sampai Rp 1,3 triliun,” katanya.
REALISASI
Sementara itu, capex yang sudah terserap hingga Juli 2019 sekitar Rp600 miliar-Rp700 miliar. Hadi menyebut, AALI harus mengencangkan ikat pinggang untuk bisa survive seiring dengan harga yang masih kurang bagus.
Selain itu, AALI berupaya untuk menurunkan biaya produksi CPO yang sekarang berada pada kisaran US$400/ton atau Rp6.000/kg. Emiten perkebunan itu menargetkan bisa mengurangi biaya produksi sampai dengan Rp5.000/kg pada kuartal III/2019.
“Menekan biaya produksi itu mungkin karena masih banyak yang bisa ditekan. Rp6.000/kg itu masih tinggi, target kami kuartal III/2019 nanti jadi Rp5.000/kg. Tidak banyak yang kami pangkas. Hanya saja kalau bisa dilakukan teknologi dan mekanisasi ya kami jalankan.”
AALI, lanjutnya, menargetkan bisa memproduksi CPO sebanyak 1,8 juta ton dengan komposisi lebih dari 1 juta ton dihasilkan dari kebun sendiri, sedangkan sisanya beli dari luar. Dari produksi itu, 70% akan diekspor, sedangkan 30% akan dijual untuk pasar lokal.
Hadi memproyeksikan pasar CPO akan jauh lebih baik pada semester 11/2019. Pasalnya, sampai dengan Juli, curah hujan masih rendah. Dengan begitu, kemungkinan ledakan produksi seperti 2018, yakni saat jumlah CPO melonjak sampai 5 juta ton tidak akan terjadi.
Menurutnya, ledakan produksi merupakan salah satu penyebab industri minyak sawit goyang. Pasalnya, produsen kesulitan mencari pasar baru, ditambah dengan memanasnya perang dagang antara China-Amerika serikat.
Di sisi lain, AALI pun tengah menjajaki pasar baru seperti Pakistan dan wilayah Timur Tengah. Dia berharap ada kepastian pada semester kedua ini.
Selain kelebihan produksi, isu lain yang perlu diperhatikan adalah kenaikan upah minimum pekerja sebesar 10%. Menurutnya, dengan kebijakan ini perseroan perlu kreatif dalam memaksimalkan biaya operasional.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menyebut, langkah yang diambil AALI menekan belanja modal tahun ini mengisyaratkan kinerjanya dalam tekanan. Menurutnya, langkah itu bisa jadi tepat di tengah buruknya harga CPO.
“Kita lihat juga kinerja kuartal 1/2019 tidak terlalu baik dengan terkoreksinya kinerja,” katanya kepada Bisnis, Minggu (14/7). B
Source : Bisnis Indonesia