Investor Daily oleh Tri Listyarini
JAKARTA – DPR optimistis Rancangan Undang-Undang tentang Perkelapasawitan (RUU Perkelapasawitan) bisa disahkan menjadi UU pada tahun ini. Sejumlah penyesuaian telah dilakukan DPR agar pemerintah tidak lagi menolak pembahasan RUU yang merupakan hak inisiatif parlemen tersebut.
Saat ini, RUU Perkelapasawitan telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018, bersama 49 RUU lainnya. Penyusunan RUU Perkelapasawitan telah diinisiasi DPR sejak pertengahan 2016. RUU tersebut sebenarnya telah dimasukkan dalam Prolegnas 2017.
Namun, pemerintah menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut bersama DPR. Alasannya, RUU Perkelapasawitan tumpang tindih dengan tiga UU yang berlaku saat ini, yakni UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU No 14 Tahun 2014 tentang Perindustrian, dan UU No 19 Tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR (Baleg DPR) Firman Soebagyo menjelaskan, hingga saat ini, DPR masih menganggap bahwa melindungi sawit adalah hal sangat penting, sehingga perlu UU mengenai perkelapasawitan.
“Sawit telah memberikan kontribusi penerimaan yang paling besar terhadap perekonomian RI, pada 2017 mencapai rekor hingga hampir US$ 23 miliar. Karena itu, industry hulu-hilir sawit membutuhkan regulasi khusus yang bisa memberikan kepastian hukum. Sawit juga bukan hanya berkontribusi besar terhadap perekonomian, tapi juga bisa mengatasi persoalan kesenjangan Jawa dan luar Jawa. Karena itu, kami kembali memasukkannya dalam Prolegnas 2018,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (2/3).
Pada 2017, kata dia, pemerintah memang menolak melanjutkan pembahasan RUU Perkelapasawitan dengan DPR. Selain karena menilai RUU Perkelapasawitan tumpang tindih dengan sejumlah UU, pembentukan badan pengatur dalam RUU tersebut dinilai akan tumpang tindih dengan peran kementerian/lembaga, di antaranya Kementerian Pertanian (Kementan).
“Untuk itu, kami tengah melakukan harmonisasi atau penyesuaian, supaya RUU Perkelapasawitan tidak mengganggu UU yang sudah ada. Kami juga mempertimbangkan untuk tidak ada lembaga baru. Kami tidak akan copy paste lembaga-lembaga sawit seperti di Malaysia, yang penting fungsi koordinasi harus dipastikan bisa berjalan sempurna. Dengan upaya tersebut, kami yakin tahun ini bisa disahkan,” kata Firman.
Harus Ada Target
Firman menjelaskan, RUU Perkelapasawitan akan mengedepankan tiga hal. Pertama, pengembangan industri hulu sawit terkait upaya peningkatan produksi tanpa harus menambah lahan baru. Kedua, pengembangan industri hilir terkait penciptaan produk sawit yang mampu memberikan nilai tambah bagi industri domestik. Ekspor sawit yang saat ini masih didominasi produk mentah, ke depan, minimal harus produk setengah jadi.
Ketiga, penyusunan peta jalan (roadmap) industri sawit. “Harus ada target-target, pada titik penerimaan berapa tidak ada lagi peningkatan produksi dengan perluasan lahan, serta lebih menerapkan teknologi. Jangan sampai ada lagi hutan dijarah atau gundul,” imbuh dia.
Dia menjelaskan lebih lanjut, pengembangan industri hulu yang akan menekankan pada peningkatan produktivitas kebun petani ini juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini juga terkait kelestarian lingkungan. Karena itu, kata dia, UU mengenai perkelapasawitan akan mengatur kewajiban sertifikasi sawit lestari (Indonesian Sustainable Palm Oil System/ ISPO) bagi perusahaan maupun petani, dalam pasal tersendiri.
Saat ini, ISPO hanya diatur dalam regulasi selevel peraturan menteri. “Setelah harmonisasi itu tuntas, kami akan minta surpres (surat persetujuan presiden), untuk kemudian dilakukan pembahasan di tingkat panitia kerja (panja) dan berikutnya di paripurna. Karena peran strategisnya, maka sawit butuh payung hokum tersendiri, tidak mungkin hanya diatur dalam UU Perkebunan yang mengatur 127 komoditas,” tandas Firman.
Jawaban atas Kebutuhan Sesuai Tuntutan Zaman
Sementara itu, dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan, Indonesia memang sudah saatnya memiliki UU yang khusus mengatur industri sawit.
UU Perkelapasawitan diperlukan bukan hanya sebagai bentuk kepastian hukum bagi industri sawit, namun juga akan menjadi jawaban atas perubahan di sektor sawit.
“UU ini akan menjadi jawaban atas kebutuhan sesuai tuntutan zaman. Saat ini banyak sekali situasi yang berubah, seperti Parlemen Eropa yang ingin mengurangi sawit untuk biodiesel. Apa solusinya, itu akan dibahas di RUU khusus sawit,” ujar dia.
Selesaikan Masalah di Sektor Sawit
Sedangkan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Danang Girindrawardana menyatakan mendukung pengesahan RUU Perkelapasawitan menjadi UU. Adanya UU itu diharapkan membantu agar masalah-masalah mendasar di sektor sawit, terutama terkait petani, bisa diselesaikan dengan baik.
“Sampai saat ini, tata kelola sawit masih tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, sehingga menyulitkan koordinasi sinergis dan lamban menyikapi tantangan persaingan dunia. Kalau UU itu akan mengatur sebuah kelembagaan yang memiliki fungsi tata kelola sawit, maka akan lebih baik,” kata dia.
Dia mencontohkan Malaysia yang memiliki badan pengelola sawit yang lebih permanen, Malaysian Palm Oil Board (MPOB). Malaysia juga memiliki best practice, FELDA, yang mampu mengatasi masalah konflik lahan, agraria, dan tata batas hutan secara lebih progresif.
“Soal lahan dan tata batas di Indonesia saat ini juga tersebar di berbagai UU, kementerian, lembaga, dan pemda. Perkebunan pada umumnya menjadi korban ketidakjelasan kebijakan tata guna lahan,” kata Danang.
Lebih jauh Danang mengatakan, performa dan kredibilitas perkebunan sawit Indonesia merupakan kepentingan strategis nasional yang harus dikedepankan. Karena itu, UU mengenai perkelapasawitan mesti menekankan pada penguatan peran petani sawit yang saat ini sekitar 5,8 juta, serta mempertahankan investasi perkebunan sawit secara nasional.
“Jangan sampai sawit Indonesia yang saat ini berkontribusi positif, hingga Rp 300 triliun pada produk domestic bruto, tidak terkelola dengan baik dan akhirnya surut, seperti komoditas perkebunan lain yang hampir semuanya net importer,” ucap dia saat dihubungi Investor Daily.
Danang menuturkan, masalahmasalah yang dihadapi petani dan perusahaan perkebunan sawit mayoritas terkait regulasi yang tumpang tindih, khususnya di sektor kehutanan, agraria, rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) nasional dan provinsi, pertanian, serta perkebunan.
Hingga saat ini, masalah-masalah tersebut belum mampu diselesaikan secara sinergis, sehingga berpotensi merusak kredibilitas Indonesia di mata dunia, terutama terkait pengelolaan keberlanjutan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial.
Pacu Produktivitas Kebun Petani Sawit
Masalah lain yang mendesak diselesaikan adalah upaya memacu produktivitas kebun petani sawit, yang saat ini kalah jauh dari perusahaan perkebunan sawit. Karena itu, ketentuan dalam UU tersebut hendaknya juga ditujukan untuk meningkatkan kinerja komoditas perkebunan sawit Indonesia, hingga ke kebun rakyat.
“UU itu mestinya juga mengatur pola-pola kemitraan yang baik antara perusahaan dengan petani, supaya ada alih teknologi, alih manajemen, dan alih keterampilan pengelolaan kebun sawit. Ini supaya masyarakat petani sawit semakin meningkat kesejahteraannya. Lagipula, harus ada mekanisme pengaturan off taker dari hasil kebun petani sawit, untuk diserap pabrik pengolah sawit,” kata Danang.
Danang juga yakin, UU mengenai perkelapasawitan akan memperkuat kredibilitas ISPO. Selain itu, bisa mendorong pembuatan kebijakan roadmap kelapa sawit yang sustainable dalam tiga pilar, yakni ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Pihaknya juga menunggu masukan yang konstruktif dari pemangku kepentingan yang lain. (*)