Investor Daily | Selasa, 13 Februari 2018
JAKARTA – Komoditas kelapa sawit kembali menjadi penyumbang devisa terbesar. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada 2017 mengalami surplus US$ 11,84 miliar dan sama seperti 2016 penyumbang devisa terbesar masih berasal dari ekspor minyak sawit dan produk turunannya.
Pada 2016, ekspor minyak sawit dan produk turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleokimia) US$ 18,22 miliar dan pasa 2017 melejit hingga 26% menjadi US$ 22,97 miliar.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) Bustanul Arifin mengaku tak terkejut dengan angka yang dirilis BPS tersebut. Menurutnya, volume ekspor minyak sawit berbanding lurus dengan produksi. Apalagi, harga rata-rata minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada 2017 meningkat 2% dibandingkan 2016, yakni US$ 700,40 per metrik ton (mt) menjadi US$ 714,30 per mt.
“Saya tidak terlalu kaget dengan angka-angka itu, karena sawit itu nilai ekspornya berbanding lurus dengan produksi, apalagi harga rata-ratanya juga meningkat. Dan tren kenaikan ekspor ini di 2018 masih akan terjadi karena cuaca juga mendukung,” kata Bustanul di Jakarta, baru-baru ini.
Bahkan, kata Bustanul, hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih akan terus meningkat. Namun demikian, dia mengingatkan para para pelaku usaha dan pemerintah bahwa isu sustainability atau keberlangsungan masih akan terus menjadi kendala. “Ini harus diselesaikan. Pemerintah harus terus melakukan diplomasi dagang. Kalau tidak, potensi devisa yang sangat besar ini bisa saja sirna. Karena ini merupakan salah satu hambatan dagang, tariff barrier,” katanya.
Selain itu, pemerintah harus gencar membuka pasar-pasar ekspor baru, misalnya negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, Negara pecahan Rusia, dan negara-negara di timur tengah. Semua negaranegara itu sangat prospektif. Namun demikian, Bustanul juga mengingatkan agar pasar-pasar tujuan ekspor tradisional seperti Eropa Barat, AS, Jepang, India, Pakistan, Tiongkok jangan ditinggalkan.
“Kita harus cerdas dan cerdik dalam mengembangkan pasar baru yang potensial, tapi jangan sampai lengah dengan meninggalkan pasar tradisional. Sebab kalau lengah, peluang itu akan hilang,” jelas dia.
Berbagai upaya menghambat pertumbuhan industri sawit akan terus dilancarkan karena persaingan dagang minyak nabati yang semakin ketat. Dalam kondisi itu, pemerintah harus lebih jeli dalam melihat permasalahan dan tidak mengeluarkan regulasi-regulasi yang justru menghambat perkembangan industri sawit yang notabene merupakan mesin penghasil devisa terbesar dalam menyokong perekonomian nasional.
Senada dengan itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, hingga saat ini Indonesia masih terpaku pada pasar tradisional yang mencapai sekitar 70% dari total Negara tujuan ekspor.
“Kita dari dulu masih tidak terbuka untuk pasar baru. Pakistan, Eropa Timur, Afsel, Afrika Utara ini juga sangat potensial. Karena itu, pada 2018 harus buka pasar alternatif itu,” kata Bhima.
Selain itu, kata Bhima, pemerintah harus bisa melakukan diplomasi dagang dengan negara tujuan ekspor. Sebab setiap negara selalu menerapkan tarif dan nontarif. AS misalnya, saat ini menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih protektif. AS telah menerapkan lebih dari 2.000 nontariff barrier, Tiongkok 4.000 nontariff barrier, sementara Indonesia hanya memiliki 299 hambatan nontariff barrier.
“Itu yang menyebabkan kita tidak bisa masuk ke pasar mereka. Kita harus memperkuat diplomasi perdagangan baik secara bilateral maupun multilateral sehingga hambatan non tariff tadi bisa berkurang,” katanya.
Indonesia yang memiliki sawit sebagai komoditas potensial, menurut Bhima, harus tetap dijaga dan diperjuangkan, terutama dalam sengketa dagang di forum WTO. Pemerintah Indonesia dan Malaysia, sebagai dua negara penghasil utama minyak sawit dunia harus bersama-sama melakukan diplomasi.
Pemerintah harus lebih aktif lagi di forum WTO agar bisa menang dalam menghadapi sengketa dagang. “Apalagi selama kita kekurangan tim banding di WTO sehingga untuk menghadapi sengketa dagang, ini harus diperkuat. Market intelegen kita juga kurang. Padahal ini sangat penting,” katanya.
Terkait sawit, isu hambatan dagang bermunculan di berbagai negara. AS misalnya, memberlakukan antidumping untuk biodisel Indonesia, juga adanya Resolusi Parlemen Eropa yang menyebutkan pelarangan biodisel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Tahun lalu, India juga menaikkan pajak impor minyak sawit hingga dua kali lipat dari 2016. Minyak sawit juga berpotensi menghadapi kendala di Australia menyusul Senat Australia kembali mengajukan RUU Competition and Consumer Amendment (Truth in Labeling-Palm Oil).