Setiap 5 Oktober, dirayakan Hari Guru Sedunia sebagai bentuk penghargaan bagi para pendidik yang telah menyalakan cahaya ilmu.
Namun, guru tidak selalu hadir di balik meja kelas dengan papan tulis. Kadang, guru ada di tengah perkebunan, di rumah-rumah sederhana, bahkan di sela pekerjaan sehari-hari. Sosok itu bisa kita temukan dalam diri Harminah — yang akrab disapa Anggi– pekerja rawat di PT Sukses Tani Nusasubur (STN), anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk yang beroperasi di Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.
Lahir di Sekunyit, Lombok Tengah, 4 April 1985, Anggi tumbuh dalam keluarga yang hidup dari bertani dan berjualan sembako. Ia besar di lingkungan desa, dengan akses pendidikan yang terbatas.
Namun keterbatasan tak pernah ia jadikan penghalang. Justru dari situlah tumbuh cita-cita besarnya menjadi guru bahasa. Di MAN 1 Praya Lombok, sekolah favorit di kota yang penuh dengan persaingan ketat, ia memilih jurusan Bahasa.
Alasannya sederhana tapi dalam, ia ingin lebih mudah berinteraksi, baik dengan lingkungan sekitarnya, maupun dengan wisatawan asing yang sering datang ke Pulau Lombok. Bahasa, baginya, adalah jembatan untuk mengenal dunia.
Ia tekun mempelajari Bahasa Inggris karena menganggapnya sebagai kunci komunikasi global, dan Bahasa Arab karena nilai spiritual yang kuat dalam agama Islam.
Tak mudah, tentu saja. Grammar dan kosa kata asing sempat menjadi momok, tapi fasilitas laboratorium bahasa yang tersedia di sekolah memberinya ruang untuk berlatih berbicara langsung.
Di situlah ia terbiasa menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan, terutama dengan guru Bahasa Inggrisnya. Anggi akhirnya lulus sebagai peringkat pertama jurusan Bahasa pada 2004.
“Saya bahkan menyampaikan pesan dan kesan kelulusan dalam Bahasa Inggris di atas panggung. Orang tua saya hadir, guru-guru melihat saya. Semua terharu,” tuturnya.
Di sekolah itu, ia merasa seperti bertarung di kandang singa. Anak-anak kota, sebagian dari keluarga mampu, adalah pesaingnya. Tapi semangatnya membungkam rasa takut. Ia berdiri sebagai juara. Di balik prestasinya, ada dua sosok yang diam-diam memantik nyalanya.
Mr. Komari, guru Bahasa Inggrisnya di SMP, yang pertama kali percaya bahwa ia punya potensi besar. Selain itu Zia Ulhaq, teman sekaligus saingan semasa SMP yang meyakini jika Anggi hanya pintar di desa saja jika di kota tidak akan sanggup untuk bersaing.
Keyakinan Zia bukan menjadi luka bagi Anggi, tapi jadi bahan bakar.
Sayangnya, jalan kuliah tidak semulus harapannya. Ia sempat mendapat tawaran jalur khusus di Universitas Mulawarman, tetapi orangtuanya tak mengizinkan karena jaraknya terlalu jauh. Ia pun mencoba bertahan di Universitas Lombok, meski harus mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam yang bukan pilihannya.
“Saya bertahan sampai semester dua. Tapi hati saya gak di situ. Akhirnya saya berhenti,” ucapnya lirih.
Bagi Anggi, keputusan itu menyisakan sesak, tapi tak membuatnya hancur. Ia bertekad untuk melanjutkan mimpi lewat anak-anaknya.
“Kalau saya tak bisa kuliah, anak-anak saya harus lebih tinggi. Sekarang anak saya belajar di Gontor,” ucapnya bangga.
Mengajar dari Hati, Bukan Sekadar Profesi Di tengah kesibukannya sebagai pekerja rawat dan ibu rumah tangga, Anggi juga pernah menjadi guru sukarela.
Ia mengajar Bahasa Inggris dari rumah ke rumah, ke afdeling, ke perumahan teknik, bahkan ke rumah staf, tanpa pernah menetapkan tarif.
“Saya tak minta apa-apa. Tapi mereka kasih uang bensin, parcel, sayur, bahkan makanan. Mereka sangat menghargai ilmu,” katanya dengan mata berbinar.
Tak jarang ada yang mengira dirinya mantan TKW hanya karena fasih berbahasa Inggris. Ia tertawa ketika menceritakannya. “Padahal saya belajar di sekolah, bukan dari luar negeri,” ujarnya.
Dalam prosesnya, ia mendapati bahwa pendidikan tak harus datang dari ruang kelas. Ia mengajar di dapur, di beranda, di sela-sela waktu setelah bekerja di lapangan.
Metodenya pun cair, kadang dengan lagu, kadang dengan permainan, dan sesekali membawa hadiah kecil untuk memancing semangat anak-anak.
Anak-anak yang ia ajar pernah rela menunggunya meski hujan turun. “Mereka bilang, ‘Ibu pasti datang.’ Itu menyentuh hati saya,” kenangnya.
Dan ketika anak-anak itu meraih nilai bagus di sekolah, atau mulai bisa menjelaskan pelajaran ke teman lain, rasa lelahnya langsung sirna.
Kini, di tengah kesibukannya yang semakin padat pun semangat berbagi ilmu tak pernah surut. Ia tetap meluangkan waktu untuk mengajar anak-anaknya di rumah, sambil mengelola usaha toko sembako kecil-kecilan.
“Saya percaya, kalau kita bisa, itu karena kita terbiasa,” ujarnya penuh keyakinan.
Bahasa tetap menjadi bagian dari hidupnya. Dalam pekerjaan, ia merasa lebih siap karena memahami istilah dari HO seperti fit to work, take action, ready to work, atau nearmiss.
Bagi banyak orang, istilah itu asing. Tapi baginya, itu alat kerja. Di rumah, ia menggunakan Bahasa Indonesia untuk mendampingi anak-anak belajar, dan Bahasa Arab untuk mengajarkan bacaan sholat serta makna ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagai bagian dari keluarga besar Astra Agro Lestari, Anggi menyadari bahwa pelatihan dan beasiswa tersedia luas.
Ia bersyukur karena ada kesempatan bagi anak-anak karyawan untuk menempuh pendidikan tinggi, dan bagi karyawan untuk mendapatkan sertifikasi dan pelatihan keterampilan. Ketika ditanya tentang cita-citanya yang belum tercapai, Anggi tak menyebut gelar atau jabatan.
“Kalau ada beasiswa, saya ingin belajar bahasa lagi. Bahasa itu dunia,” ucapnya singkat, namun penuh tekad. Baginya, kesempatan untuk belajar bukan soal umur, tapi soal keberanian untuk terus berjalan.
Baginya, pendidikan formal maupun nonformal adalah hak semua orang.
Sumber: Tribun Kalteng
Penafian
Artikel ini mungkin berisi materi berhak cipta, yang penggunaannya mungkin tidak diizinkan oleh pemilik hak cipta. Materi ini disediakan dengan tujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan. Materi yang terdapat dalam situs web Astra Agro didistribusikan tanpa mencari keuntungan. Jika Anda tertarik untuk menggunakan materi yang memiliki hak cipta dari materi ini dengan alasan apapun yang melampaui ‘penggunaan wajar’, Anda harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari sumber aslinya











