Di banyak sudut sunyi Indonesia, harapan tidak pernah benar-benar mati. Ia tumbuh pelan-pelan, di tengah keterbatasan, lewat tangan-tangan yang tak pernah menyerah seorang kepala desa yang jujur, pemuda yang pulang kampung, atau seorang bidan yang tak pernah absen dari posyandu. Dan kadang, harapan itu datang dari tempat yang tak disangka sebuah perusahaan sawit, yang diam-diam menanam benih masa depan bersama warga desa.
Pagi baru saja dimulai ketika suara mesin backhoe memecah keheningan di Pasar Bungintimbe. Lumpur yang selama ini menjadi hambatan kini berganti jalur yang lebih rata simbol kecil dari perubahan besar yang sedang dimulai. “Alhamdulillah, akhirnya pasar kami dibenahi,” ucap Musniati, Kepala Desa Bungintimbe, sambil tersenyum lega.
“Biasanya kami kerja berhari-hari, sekarang alat berat ini mempercepat semua.” Revitalisasi pasar ini bukan proyek raksasa, tapi cukup untuk menggerakkan roda ekonomi desa. Alat berat itu merupakan bantuan dari PT Agro Nusa Abadi (ANA), anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk. Tapi lebih dari alat berat, yang ditawarkan perusahaan adalah niat untuk berjalan bersama masyarakat.
“Kami tidak ingin sekadar menjadi bisnis yang lewat begitu saja,” ujar Rendy Heryandi Prabowo, Administratur PT ANA. “Kami ingin hadir dan tumbuh bersama warga.”
“Alhamdulillah, akhirnya pasar kami dibenahi. Dengan alat berat ini, pekerjaan yang biasanya berhari-hari, bisa selesai lebih cepat,” kata Musniati, Kepala Desa Bungintimbe, dengan senyum lega. Sementara di sudut lain Sulawesi Tengah, di Desa Towiora, Morowali Utara, semangat membangun desa justru datang dari anak-anak mudanya.
Lagu daerah Sulawesi Tengah Novita Sari, perempuan muda yang pulang kampung setelah merantau kuliah di Palu, memilih membangun desanya dengan cara yang sederhana: budidaya jamur tiram. “Kalau kita pulang ke desa, ya harus punya niat untuk membangun desa. Bukan hanya sekadar tinggal,” ujar Novita mantap.
Bersama Karang Taruna Towiora, Novita mengelola rumah jamur yang didukung PT Lestari Tani Teladan (LTT), juga bagian dari Astra Agro. Setiap hari, mereka panen antara 1-5 kilogram jamur, dijual ke pasar desa dan perusahaan. Hasilnya jadi sumber penghasilan tambahan bagi pemuda-pemudi yang ingin tetap berkarya di kampung halaman. Tak hanya jamur, mereka juga aktif menghidupkan kegiatan sosial desa. “Yang paling sulit itu menjaga semangat teman-teman supaya tetap aktif. Banyak yang sibuk kerja, nikah, atau kuliah,” kata Novita sambil tersenyum kecil.
Lebih jauh dari pada itu, kegiatan CSR ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, salah satunya Ketua Relawan untuk Orang dan Alam (ROA), Rizal. Ia menilai program CSR PT LTT telah mendorong kemandirian ekonomi pemuda desa.
“Melalui program CSR PT LTT, para pemuda di Desa Towiora kini punya peluang untuk mandiri secara ekonomi lewat budidaya jamur tiram. Ini langkah positif yang patut didukung,” ujar Rizal.
Lebih lanjut, Rizal berharap agar perusahaan-perusahaan lain dapat mengikuti jejak ini. “Kami berharap perusahaan lain bisa mencontoh pendekatan CSR yang partisipatif seperti ini,” tambahnya.
Tak jauh berbeda, di Pelalawan, Riau, sebuah perjuangan lain tengah berlangsung, bukan soal infrastruktur atau ekonomi, tapi soal hidup dan mati generasi masa depan. Kepala Puskesmas Kerumutan, Harno, bersama PT Sawit Lembah Subur (SLS) berupaya menekan angka stunting dengan membudidayakan daun kelor. “Awalnya ada 20 anak gizi buruk. Sekarang, sejak 2023, Kecamatan ini sudah zero stunting,” ujar Harno. Sejak 2019, penanaman kelor digalakkan di halaman rumah warga.
PT SLS mendukung penuh, mulai dari penyediaan bibit, pelatihan pengolahan hingga pembangunan Community Feeding Center (CFC). Asisten CSR PT SLS, Hanafi Febrian menyebut kolaborasi seperti ini adalah contoh nyata CSR yang memberdayakan, bukan sekadar charity sesaat. “Kalau kesehatan masyarakat baik, desa bisa tumbuh bersama,” katanya.
Cerita-cerita kecil dari Bungintimbe, Towiora, dan Kerumutan adalah potongan mozaik besar bagaimana desa-desa di Indonesia membangun dirinya sendiri—dibantu perusahaan yang tak hanya mencari untung, tapi juga mau mendengarkan kebutuhan masyarakat.
Tentu saja, jalan menuju kesejahteraan masih panjang. Ada konflik, ada ketidakpuasan, ada tantangan yang belum terselesaikan. Seperti Novita bilang, “Namanya hidup di desa, kebutuhan itu nggak akan habis.”
Tapi setidaknya, hari ini pasar Bungintimbe mulai tertata, rumah jamur Towiora berisi panen harapan, dan anak-anak Kerumutan tumbuh sehat tanpa bayang-bayang stunting.
Membangun desa memang bukan pekerjaan satu malam. Tapi selama masih ada yang mau peduli, sekecil apapun langkahnya, masa depan tetap punya harapan.
Sumber: Sulteng Pikiran Rakyat
Penafian
Artikel ini mungkin berisi materi berhak cipta, yang penggunaannya mungkin tidak diizinkan oleh pemilik hak cipta. Materi ini disediakan dengan tujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan. Materi yang terdapat dalam situs web Astra Agro didistribusikan tanpa mencari keuntungan. Jika Anda tertarik untuk menggunakan materi yang memiliki hak cipta dari materi ini dengan alasan apapun yang melampaui ‘penggunaan wajar’, Anda harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari sumber aslinya










