Penafian
Artikel ini mungkin berisi materi berhak cipta, yang penggunaannya mungkin tidak diizinkan oleh pemilik hak cipta. Materi ini disediakan dengan tujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan. Materi yang terdapat dalam situs web Astra Agro didistribusikan tanpa mencari keuntungan. Jika Anda tertarik untuk menggunakan materi yang memiliki hak cipta dari materi ini dengan alasan apapun yang melampaui ‘penggunaan wajar’, Anda harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari sumber aslinya
Kelapa sawit merupakan komoditas minyak nabati Indonesia paling strategis dan memiliki pasar yang sangat luas.
Potensi serta peluang untuk memanfaatkan industri ini bagi kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi industri sawit membutuhkan beberapa dukungan.
“Perlu kepastian hukum dan pengambil kebijakan perlu menghindari peraturan yang cepat berubah serta tumpang tindih,” kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), M. Hadi Sugeng Wahyudiono, di seminar Menakar Keseimbangan Produksi CPO untuk Kebutuhan Domestik Dan Eskpor: Urgensi dan Tantangan, di Jakarta, (19/6).
Persoalan ini dinilai masih menjadi tantangan dan memerlukan perhatian serius. Seharusnya, menurut Hadi, perusahaan-perusahaan yang sudah berjalan dan dilengkapi perijinan serta memiliki hak atas tanah yang dikeluarkan pemerintah dapat memfokuskan diri pada produksi dan peningkatan produktivitas.
Apalagi, menyongsong Indonesia Emas 2045, kebutuhan minyak sawit untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor akan terus meningkat. Peningkatan ini harus diiringi dengan produksi dan produktivitas.
“Dari proyeksi Kemenko Perekonomian yang dikutip GAPKI, produksi minyak sawit menyongsong Indonesia Emas 2045 mencapai 92,44 juta ton,” lanjut Hadi. Angka ini lebih besar hampir dua kali lipat dari produksi di tahun 2024 yang mencapai 59,78 juta ton.
Sayangnya, menurut Hadi, produksi dan peningkatan produktivitas sawit masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. “Dari sisi yield, turun sejak 2010,” katanya. Situasi ini terjadi karena komposisi umur sebanyak 40% termasuk tanaman tua, yang luasnya mencapai 6,57 juta hektar.
Volume ekspor cenderung menurun juga terjadi karena pertumbuhan ekonomi negara pengimpor yang kurang baik dan pasokan minyak nabati lain juga meningkat.
Di sisi lain, menurut Hadi, peningkatan produksi harus semakin diperhatikan mengingat rencana pemerintah baru untuk meningkatkan penggunaan minyak sawit sebagai energi melalui program biodiesel. Ada indikasi bauran minyak sawit akan mencapai 50 persen. Rencana ini pasti akan meningkatkan konsumsi domestik.
“Berdasarkan hasil analisa, apabila supply dalam negeri stagnan dan demand terus bertumbuh dan volume ekspor dipertahankan di atas 30 juta ton per tahun, dalam kurun 5 tahun ke depan akan terjadi kekurangan pasokan untuk memenuhi demand baik dalam maupun luar negeri,” ujar Sekjen GAPKI yang sekaligus menjabat sebagai Chief Agronomy dan Sustainability Astra Agro ini.
Sejauh ini, menurut Hadi, dunia usaha dan pemerintah menjadikan program peremajaan sawit rakyat (PSR) sebagai solusi. Perlu terobosan lebih jauh. Dengan bibit yang lebih baik dan bantuan dana dari pemerintah, program tersebut diharapkan bisa meningkatkan produktivitas industri sawit.
Terkait dengan tumpang tindih kebijakan, Hadi mengingatkan kembali perlunya Indonesia memiliki lembaga atau badan khusus yang menangani industri kelapa sawit. Badan ini harus terintegrasi dari hulu sampai hilir. Dengan demikian, tidak akan ada lagi tumpang tindih pengaturan, kebijakan maupun implementasi di lapangan.
Sejumlah langkah ini sangat perlu dilakukan. Menurut Hadi Sugeng, banyak yang bisa dikontribusikan industri sawit dalam menyonsong Indonesia Emas 2045. “Industri sawit nasional perlu terus kita kawal bersama,” ujar Hadi.
Sumber: News.majahhortus.com